Isnin, 2 Mac 2009

Berita daripada RIAU POS

SALAM. Semalam, seorang rakan iaitu Dr. Yusmar Yusuf menghubungi saya supaya melayari koran (akhbar) Riau Pos. Katanya, ada ulasan daripada wartawan tentang seminar anjuran Dewan Kesenian Riau minggu lepas. Saya petik keseluruhan tulisan wartawan tersebut dan memuatkannya di dalam blog ini.

Minggu, 01 Maret 2009 , 11:28:00
Dari Diskusi dan Pentas Sastra Indonesia-Malaysia Shafirasalja DKR


Kontra Mitos dalam Minda Melayu


Dalam beberapa cerita jenaka Melayu masa silam, orang banyak dikejutkan dengan mitos yang ditabrakkan. Tapi justru mitos kontra mitos inilah yang kemudian menjadi keunikannya. Namun medan magnet spiritual tetaplah ‘petir’ yang menjadi kekuatan sastra Melayu.

Laporan PURNIMASARI, Pekanbaru purnimasari@riaupos.co.id

Peserta dialog dan pentas sastra Indonesia-Malaysia yang membahas peran kesenian, terutama sastra dalam membangun peradaban Melayu dari masa ke masa, yang ditaja Dewan Kesenian Riau banyak didominasi para seniman dan cikgu. Ini terbukti dengan hadirnya ratusan orang guru yang mengikuti dialog yang dibahas oleh UU Hamidy, Shamsudin Othman, SM Zakir dan Ahmad Razali di aula Dewan Kesenian Riau, Sabtu (21/2).

Bahasa, Tamadun Bangsa

Menurut Shamsudin Othman, penyair, pelukis muda Malaysia, runtuhnya tamadun suatu bangsa bukan karena peperangan maupun penjajahan tapi lebih oleh ketidakyakinan penganut tamadun atau peradaban itu pada jati diri maupun kesucian bahasanya. Dalam konteks Melayu serumpun, tentunya Bahasa Melayu adalah lambang sastra, seni dan pengucapan agung yang jadi ikon tamadun itu sendiri.

Apa yang berlaku di negara-negara dunia ketiga seperti Malaysia mi-salnya, lanjut Shamsudin, para pemimpinnya sedang berusaha mengubur bahasa mayoritas pribumi karena pesimis bisa bersaing dalam arus globalisasi. ‘’Karena itu, mengambil langkah jalan ke belakang ini akhirnya mengacu doktrin jahiliyah dan primitif. Zaman penjajahan sudah lama berlalu tapi seakan ada dikotomi baru yang dilihat sedang meresap dalam pemikiran penguasa. Resapan inilah yang akhirnya jika tidak diatasi akan membawa kehancuran tamadun suatu bangsa,” ujar Shamsudin dalam acara yang dipandu Samson Rambah Pasir, sastrawan Batam yang membacakan cerminnya berjudul Pejabat Gulai Terung.

Dikatakannya, tamadun bangsa ialah soal marwah dan kesucian. Karenanya, asas terpenting adalah bahasa bangsa itu sendiri. Dalam konteks ini, Bahasa Melayu adalah wahana mahapenting dalam menentukan kehebatan bangsa Melayu. Negara-negara seperti Jepang, Jerman, Rusia, Prancis dan Cina misalnya, senantiasa berusaha menyemaikukuhkan bahasa mereka hingga ke akar umbi supaya tiap lapisan masyarakat bangga dan cinta akan bahasa sendiri. Akhirnya, dari semangat yang luar biasa itu, kini mereka menguasai dunia.

‘’Sebuah tamadun pada hakikatnya terlalu muluk untuk diungkap dan didengar. Tapi bagaimana dengan agenda meneruskan kehidupan yang terpaksa bersaing dalam globalisasi dan kematangan fikir? Apa kita sudah siap jadi manusia cemerlang dengan karya-karya agung sehebat Hamzah Fansuri, Hamka dan lain-lainnya jika manusia yang lahir pada zaman itu hidup dalam anarkis dan bobrok?” ungkapnya.

Ia menilai hal itu juga berlaku pada sastra Malaysia saat ini. Tiga puluh tahun silam, A Samad Said menulis novel Salina (1967) dan Shahnon Ahmad menulis Ranjau Sepanjang Jalan (1970) yang memaparkan petani gigih yang tabah merempuh zaman-zaman hitam kolonial. ‘’Kenapa pada abad ke-21 ini, hal-hal kemiskinan, kelaparan, penindasan dan kezaliman masih subur dalam karya-karya sastrawan kita? Itu bermakna, usia negara yang beranjak tua tak dapat memisahkan sejarah yang berulang. Yang membedakan cuma angka dan manusianya,” tuturnya.

Dalam perkiraan yang tak berbelah bagi, lanjut Shamsudin, tamadun yang ingin dicapai itu ialah tamadun insaniah yang tinggi. ‘’Kita ingin melihat orang Melayu membelah cakrawala dengan keimanan yang teguh. Kita ingin melihat Melayu yang dapat menulis puisi-puisi indah seperti Iqbal maupun Amir Hamzah. Kita ingin melihat Melayu yang dapat membina dengan cinta keimanan bukan nafsu serakah dan rasa yang memabukkan. Juga, kita ingin melihat orang Melayu yang punya jihad seperti Syaidina Umar maupun Salehuddin al-Ayubi,” tuturnya.

Tiga Gelombang Besar Pengarang Riau

Sementara itu, menurut UU Hamidy, pengarang di Riau dapat dilihat dalam tiga gelombang besar. Gelombang pertama sejak pertengahan abad ke 19 sampai 1930-an, meliputi Raja Ali Haji, para pengarang Rusydiah Klab antara lain Raja Ali Kelana, Abu Muhammad Adnan, Raja Hitam Khalid dan Raja Aisyah Sulaiman berlanjut dengan Tuan Guru Abdurrahman Siddik sampai Soeman Hs.

Gelombang kedua sejak tahun 1950-an sampai tahun 1970-an meliputi para pengarang antara lain: Yong Dolah, Idrus Tintin, Tenas Effendy, Hasan Junus, Ediruslan Pe Amanriza, BM Syamsudin, Sudarno Mahyudin, Ibrahim Sattah, Sutardji Calzoum Bachri, Wunulde Syafinal dan Rida K Liamsi. Sedangkan gelombang ketiga bisa dikesan sejak tahun 1980-an sampai tahun 2000-an sekarang, di antaranya Taufik Ikram Jamil, Dasri, Eddy Ahmad RM, Kazzaini Ks, Husnu Abadi, Fakhrunnas MA Jabbar, Samson Rambah Pasir, Mosthamir Talib, Abdul Kadir Ibrahim, Abel Tasman, Tien Marni, Musa Ismail, Marhalim Zaini, M. Badri, Hary B Kori’un dan banyak lagi.

Dikatakan UU, ciri-ciri pengarang gelombang pertama adalah: pengarang memakai Bahasa Melayu dan tulisan Arab-Melayu, pengarang menulis berbagai jenis tulisan (tidak hanya sastra), pengarang yang baik dari kalangan ulama, karangan sastra meliputi hikayat, syair, pantun, gurindam dan cerpen dan didukung oleh Kutub Khanah Marhum Ahmadi (perpustakaan) Mathaba’atul Risuwiyah dan Al Ahmadiah Press (percetakan, penerbit) Majalah Al Imam dan Peringatan serta ruang muzakarah (perbincangan) Masjid Pulau Penyengat untuk kajian Islam.

Sedangkan ciri pengarang gelombang kedua: memakai Bahasa Indonesia dan tulisan Latin, pengarang relatif hanya mengarang bidang sastra, pengarang dari kalangan terpelajar (relatif tak ada kalangan ulama), karangan bidang sastra meliputi novel, cerpen dan puisi ditambah sedikit kritik sastra dan didukung oleh Badan Pembina Kesenian Daerah (BPKD) Riau, Penerbit Bumi Pustaka dan Harian Haluan terbitan Padang.

Pengarang gelombang ketiga memiliki ciri: memakai Bahasa Indonesia ditambah dengan dialek Melayu tempatan, pengarang relatif berkarya dalam bidang sastra saja ditambah sedikit ilmu sosial, pengarang dari kalangan terpe-lajar/mahasiswa dan relatif hampir tak ada ulama, karangan bidang sastra meliputi cerpen dan puisi cukup banyak sedangkan novel hanya sedikit dan mulai muncul ulasan (kritik) sastra dan didukung oleh Surat Kabar Riau Pos serta media lainnya di Riau, Majalah Sagang dan Yayasan Sagang yang memberi penghargaan tiap tahun, Dewan Kesenian Riau serta beberapa penerbitan seperti Unri Press dan UIR Press.

Medan Magnet Spiritual

UU menilai, membaca karangan para pengarang Melayu abad ke 19 yang cemerlang lagi piawai ini, kita dapat memperoleh berbagai keterangan, data, gagasan, serta ide maupun pemikiran untuk menulis. Tapi tidak hanya itu. Karangan mereka ternyata memberikan pesan-pesan kebenaran, sehingga makin jauh dibaca, kita akan makin ditarik oleh medan magnet spiritual.

‘’Syair Perahu Hamzah Fansuri yang salah satunya berbunyi, ‘’ibarat perahu, tamsil tubuhmu” terbukti tak pernah luntur oleh zaman. Bahkan Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji masih relevan dipakai untuk mengkritik tabiat penguasa zaman sekarang, contohnya yang gemar berhutang. Padahal, di masa dahulu, tidak ada raja-raja Melayu yang membuat hutang,” ujar pria penulis tidak kurang dari dari 50 judul buku ini.

Kondisi ini, lanjut UU, berbeda dengan karya-karya sastra/tulisan-tulisan kebudayaan yang hanya sebagai mode, cuma memikat sesaat. Pengarang gelombang pertama adalah kejayaan pemakaian gurindam, syair, pantun, hikayat, sekaligus masa kejayaan penggunaan tulisan Arab Melayu. Ketika Bahasa Indonesia mulai masuk, perlahan-lahan terjadi penurunan kualitas karena ungkapan-ungkapan terbaik tetap ada dalam Bahasa Melayu. Bahasa Indonesia mengakibatkan pengarang kehilangan nuansa-nuansa yang halus. Dan pada gelombang kedua sastra Melayu, tidak muncul lagi ulama yang menjadi penulis. Akibatnya, mulailah medan magnet spiritual meredup.

‘’Mengapa? Karena yang semula sastra mengambil nafas dari Islam yang menjadi kekuatan ruh dan diperkuat dengan ulama yang menjadi penulis sudah tak ada lagi. Jadinya, karya-karya yang lahir lebih bersifat mendunia, walaupun belum dapat dikatakan mengarah pada sekulerisme. Sementara di zaman dulu, Raja Ali Haji tidak hanya menulis Gurindam Dua Belas, tapi juga sejarah, hukum nikah, tata bahasa, kamus, dan lain sebagainya,” ungkap UU.

Pada gelombang ketiga, demikian UU, dipakailah dialek Melayu tempatan untuk memberi warna lokal Melayu. Tetapi tetap belum mampu mengembalikan kekuatan medan magnet spiritual itu. Penulisan novel juga semakin sedikit padahal ia termasuk sekelas hikayat. Karena itu, ketika ditampilkan karya pengarang abad ke 19 dan pengarang yang piawai yang mengandung medan magnet spiritual itu, medan pembaca yang punya sentuhan keruhanian justru tersentak. Karena rupanya sastra Melayu zaman silam bisa memberi pencerahan pada akal budi. Sementara, sastra Melayu yang hadir sekarang didominasi oleh suasana hiburan, paling-paling hanya ditambah sedikit protes sosial.

‘’Jika tradisi cendekiawan Melayu yang mengarang dengan muatan medan magnet spiritual ini terpelihara, insya Allah dunia Melayu akan mampu menghadapi cabaran budaya dunia yang egois, hedonis, sekuler, materialistik, bahkan munafik. Berpijak pada budaya materialistik munafik hanya bagaikan berdiri di atas lumpur. Semakin banyak bergerak, semakin jauh terpuruk ke dalam lembah kehinaan. Sementara budaya Melayu dengan medan magnet spiritual bagaikan meluncur di atas lumpur dengan papan tonkahan,” tutur UU.

Mitos Kontra Mitos

Menurut UU, dalam gambaran perkembangan karya sastra, cerita jenaka mempunyai perkembangan yang menarik. Setelah cerita jenaka Melayu yang lama seperti Pak Belalang dan Pak Pandir jauh surut, muncul kumpulan cerita jenaka Soeman Hs dalam tahun 1930-an, Kawan Bergelut. Tidak lama kemudian 1950-an sampai 1960-an muncul cerita jenaka Yong Dolah di Bengkalis dalam bentuk lisan, yang enak didengar di kedai kopi. Sementara itu pertunjukan randai di Rantau Kuantan (Kuantan Singingi) menyegarkan pertunjukannya dengan menampilkan joget (tarian) serta cerita yang mengandung unsur humor tentang kehidupan puak Melayu di perkampungannya. Selepas itu grup lawak budak Melayu Fakhri dan Udin dengan nama Smekot (semeter kotor) membuat cerita jenaka Melayu makin berkibar. Tidak lama kemudian cerita jenaka Melayu mendapat penyegaran dengan munculnya rangkaian cerita Wak Atan, sebagai trademark cerita jenaka Mosthamir Thalib.

‘’Salah satu hal yang paling menarik adalah dihadirkannya mitos kontra mitos dalam banyak cerita jenaka. Tapi bagai-manapun juga, dalam kontra mitos tetap ada ”kilat-kilat” medan magnet spiritual. Meski ”petir”-nya tetap ada dalam medan manget spiritual yang ditarah sangat bagus oleh para pengarang abad ke-19 dan pengarang Melayu yang piawai. Jadi pencerahan akal budi masih ada terpantik dalam cerita jenaka,” urainya.

UU mencontohkan, dalam cerita Pak Belalang misalnya, kita dapat menemukan tokoh Pak Belalang yang hanya orang biasa, lemah tak berdaya. Dalam kontra mitos ia dihadapkan dengan Raja sebagai pihak yang kuat yang bisa berhadapan dengan apapun. Maka ketika Raja meminta Pak Belalang menerka apa isi dalam genggaman tangannya, itu sebenarnya tak lain hanyalah sekadar tipu muslihat. Sebab sebenarnya, apapun juga jawaban Pak Belalang, ia tetap akan dibunuh.

Dalam cerita Selimut Bertuah karya Soeman Hs dalam bukunya Kawan Bergelut, mitos kontra mitos ini pun dapat ditemui. Untuk memikat hati istrinya yang seorang janda, sang suami pun membelikan selimut untuk anak tirinya (mitos). Si istri pun merasa sangat bahagia karena ia merasa sang suami telah sayang benar pada anak tirinya tersebut. Dalam kontra mitosnya, Soeman Hs mengarang bahwa ternyata selimut yang dibelikan itu sudah cacat karena ada lubang bekas api rokok. Mitos kontra mitos ini pun dengan rancaknya dibalikkan kembali. Dengan selimut yang berlubang itulah suatu hari kemudian, si anak memergoki ayah tirinya mengambil makanan di siang hari sewaktu bulan puasa.

Dalam cerita jenaka Yong Dolah, mitos kontra mitos pun ditemui. Dalam salah satu ceritanya, Yong pergi berlayar ke Vancouver. Ketika tengah melaut, ia melihat sebuah kotak. Setelah diperintah nakhoda untuk mengambilnya, kotak itu ternyata berisi banyak sepatu, tapi hanya untuk kaki kiri semuanya. Karena dianggap tak berguna (mitos), nakhoda pun menyuruh Yong untuk membuang saja kotak itu. Ternyata keesokan harinya, Yong menemukan kembali sebuah kotak di laut. Dan setelah dibuka, isinya ternyata juga puluhan sepatu, tapi hanya untuk kaki kanan semuanya (kontra mitos).

‘’Namun, pencerahan akal budi dan nikmat keruhanian itu baru dapat ditangguk jika pembaca/pendengarnya mampu merenungkan kembali makna yang terkandung di balik cerita jenaka itu. Jika tidak, maka cerita jenaka tak lebih dari sekadar hiburan semata,” kata UU.

1 ulasan:

Tanpa Nama berkata...

Tuan,

1. Rasa menyesal tidak dapat bersama 'di situ' walaupun saya telah berada dalam bandar ini ketika itu. Pasti menarik dengan limpahan ilmu dalam diskusi yang diadakan.

2. Moga lain masa dan ketika dapat bersama tuan dalam ruang yang lain.

Sekian.

rar/